Rabu, 10 Desember 2014

Ungaran

    Gunung Ungaran merupakan gunung tertinggi di Semarang. Kira-kira tingginya mencapai 2600 mdpl. Ini merupakan pengalaman perdanaku dalam mendaki dengan bermodalkan perlengkapan hikking seadanya serta belum adanya pengalaman. Untungnya sejak SMA aku sudah banyak mendengar pengalaman teman-temanku yang mengikuti ekskul pencinta alam. Jadi ini memudahkan aku dalam membayangkan apa yang akan terjadi nanti.

Hamparan Bukit-bukit
    Pada awal tahun ini tepat di bulan pertama pada hari yang ketiga aku diajak oleh temanku untuk mendaki. Aku mengiyakan meskipun cuaca masih dalam musim penghujan. Kami berangkat dari tembalang sekitar pukul 17.00 WIB, sudah hampir gelap memang. Sampai di Pos Mawar sekitar jam 18.30 WIB, tak jauh memang tempatnya jika dijangkau dari Tembalang. Gunung Ungaran hanya memiliki satu jalur pendakian yaitu hanya lewat dari pos mawar ini. Di pos kami masih beristirahat dan juga temanku ada yang menjalankan ibadah sholat. Suasana sudah mulai dingin, kabut sudah turun.
    Selang 2 jam kemudian kami melakukan pendakian. Langit malam itu sangat terang beserta dengan kilau bintang serta lampu-lampu kota. Indah sekali. Di tengah perjalanan aku melihat ada kilau kerlap-kerlip di semak, ternyata itu kunang-kunang. Banyak sekali sampai-sampai aku terperangah melihatnya. Ini merupakan pengalamanku melihat langsung kunang-kunang yang aku kira hanya ada di cerita dongeng.
     Jalanan yang becek lumayan menghambat perjalanan kami. Kami semua hanya berjumlah lima orang, empat perempuan dan satu laki-laki. Keempat perempuan ini merupakan pemula. Wajar jika waktu yang dicapai sampai kepemukiman warga sampai 4 jam yang seharusnya hanya 2 jam. Lebih banyak waktu yang kami habiskan dengan beristirahat.
    Tiba di pemukiman kami menginap di salah satu rumah warga. Kami langsung memesan mie instan kuah beserta telur sebagai penganti tenaga yang sudah keluar. Selesai makan kami tidur terlebih dahulu dan akan melanjutkan pendakian lagi pada dini hari agar kami dapat melihat matahari terbit. Dingin yang sangat menusuk tulang, tidur dengan beralaskan papan, badan ditutupi menggunakan sleeping bag tetap saja mengigil.
    Pukul 03.00 kami bangun dan melanjutkan lagi pendakian dengan hanya membawa makanan dan minuman dalam tas dan perlatan yang lain kami tinggal. Medan yang dilalui semakin  sulit dengan menaiki bebatuan yang licin dan juga kondisi yang gelap. Untungnya kami sampai di tempat yang sangat strategis untuk menikmati matahati terbit. Meskipun belum sampai puncak, Kilau jingga yang mengetarkan jiwa. Sudah terlihat jelas bukit-bukit yang berada dibawah kami. Awan-awan pun berarak seperti tumpukan kapuk yang sudah siap untuk jadi tumpuan.
Merapi dan Merbabu
    Dari atas tampak pula gunung-gunung yang lain seperti Merapi dan Merbabu. Diarah yang berbeda terdapat pula gunung Sindoro dan Sumbing. Alangkah menakjubkannya berada di barisan gunung-gunung.

Tugu Ungaran
    Inilah pengabadian potret kami yang berhasil mendaki ke daratan tertinggi yang berada di kota Semarang ini. Kami sudah tidak mempedulikan lagi penampilan. Kotornya pakaian dan kucelnya muka kami sebagai tanda perjuangan kami untuk bisa sampai ke puncak.  Tak berlama-lama kami di puncak, sesudahnya kami kembali lagi ke rumah yang kami tempati tadi malam. 

Keterangan dalam Keramik
    Di pemukiman ini juga terdapat mata air yang biasa dikenal di daerah sini itu sendang. Namanya ialah Sendang Pengilon, ini menjadi tempat yang dikeramatkan. Nampak masih banyak sesajian yang ada di sekitar tempat ini

Sendang
    Sendang ini bisa dipergunakan untuk umum. Biasa digunakan para pendaki untuk mandi ataupun bilas. Warga pun masih aktif menggunakan ini. Mata airnya disalurkan melalui banyak pancuran.

Kebun Teh
    Keindahan kebun teh tak kalah menarik juga dari puncak. Baru aku sadari ternyata sampai ke kebun teh ini bisa dicapai oleh mobil. Sempat miris membayangkan aku yang susah payah kemari dengan berjalan kaki tetapi banyak orang yang bisa hilir mudik ke tempat ini menggunakan kendaraan. Tapi tak apa namanya juga pendaki. Kebun teh ini sangat luas. Memang mayoritas penduduk disini ialah berkebun teh serta banyak tanaman palawija lainnya.
    Kami turun dengan waktu yang lebih cepat dibandingkan saat naik. Aku terheran-heran melihat medan pendakian yang lumayan terjal ini bisa kudaki kemarin malam saat kondisi gelap. Ketika terang semua terlihat dengan jelas dan nyata. Tak ada penyesalan ataupun rasa jenuh setelah pengalaman pertama ini, yang tersisa hanyalah rasa penasaran dan ingin mencoba mendaki lagi gunung-gunung yang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar