Rabu, 25 Februari 2015

Dieng Culture Festival 5

    Dieng Culture Festival (DCF) adalah kegiatan kebudayaan yang digagas oleh Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Desa Dieng Kulon, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah. Event kebudayaan ini digagas sebagai kegiatan untuk pelestarian kebudayaan dan tradisi, sekaligus sebagai promosi potensi wisata alam dan kebudayaan di Dataran Tinggi Dieng, Jawa Tengah. Dieng secara geografis berada dalam wilayah Kabupaten Banjarnegara dan sebagaian di wilayah Wonosobo.
    Acara utama dalam DCF adalah ritual cukur rambut anak gembel. Dalam tradisi masyarakat di Dataran Tinggi Dieng, anak gembel jika hendak dicukur rambutnya harus melalui prosesi ruwatan yang sakral. Tradisi tersebut masih bertahan hingga saat ini. Kegiatan DCF diselenggarakan oleh komunitas (warga) Dieng Kulon, Batur, Banjarnegara yang juga melibatkan warga Dieng, Kejajar, Wonosobo dan didukung oleh berbagai pihak yang berkenan menjadi sukarelawan membantu penyelenggaraan DCF.
    DCFdiselenggarakan dengan semangat gotong royong dan partisipasi banyak pihak. Kegiatan ini tidak secara khusus bertujuan untuk kepentingan komersial, namun juga pemberdayaan masyarakat setempat agar event nasional ini berdampak pada masyarakatsekitar (multilevel efect). Pembiayaan utama dari pegelaran kebudayaan adalah partisipasi pengunjung yang berkenan membayar paket tiket DCF. Sebagian besar dana paket tiket untuk pembiayaan kegiatan. Peyelenggara juga dibantu oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Banjarnegara dan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, serta berbagai sponsor pendukung.
    Acara pendukung lain Festival Film Dieng dan pagelaran Jazz Atas Awan, sebagai kolaborasi antara seni tradisi dan perkembangan industri kreatif modern. Antara seni tradisi dan kekinian dipadukan dalam DCF. Kedepan, kegiatan kebudayaan ini akan terus diselenggarakan dengan adegan utama ruwatan anak berambut gembel, serta berbagai acara pendukung yang akan dikreasikan agar lebih menarik.

Ritual Pencukuran Rambut Gembel
    Disebut gembel karena rambutnya menyerupai gelandangan yang tidak pernah mencuci rambut. Bukan karena faktor keturunan tetapi itu hanya bisa tumbuh alami pada anak-anak Dataran Tinggi Dieng, Banjarnegara, Jawa Tengah. Secara medis penyebab gembel masih belum diketahui secara jelas, namun yang pasti kemunculan rambut gembel disertai demam tinggi, serta mengigau pada waktu tidur. Gejala ini tidak bisa diobati sampai akhirnya normal dengan sendirinya dan rambut sang anak akan menjadi kusut dan menyatu.
  Sehari sebelum diadakan ritual ruwatan terlebih dahulu dilakukan prosesi Napak Tilas yang dipimpin oleh Sesepuh Pemangku Adat serta sejumlah tokoh menuju beberapa tempat, yaitu; Candi Dwarawati, Komplek Candi Arjuna, Candi Gatotkaca, Candi Bima, Telaga Balaikambang, Kawah Sikidang, Komplek Pertapaan Sendang Maerokoco, Mandalasari (Goa-goa di Telaga Warna), Kali Pepek, dan Komplek Pemakaman Dieng. Di tempat-tempat tersebut dilakukan ritual doa keapda yang Maha Kuasa agar prosesi ruwatan rambut gembel berlangsung lancar.

Kirab Pencukuran Rambut Gembel
     Prosesi pecukuran rambut gembel adalah perjalanan arak-arakan menuju lokasi ritual pencukuran. Dimulai dari rumah sesepuh pemangku adat dan berhenti di dekat kawasan Sendang Maerokoco atau Sendang Sedayu dengan berkeliling desa dikawal oleh para sesepuh, para tokoh masyarakat, kelompok-kelompok paguyuban seni tradisional, dan masyarakat.
    Barisan kirab terdiri dari pengawal utama yaitu dua tokoh sesepuh Cucuk Ing Ngayoda, dua orang pembawa dupa (tungku penolak bala) dan para prajurit pembawa tombak, keris, dan pusaka lainnya, diteruskan dua orang pembawa Bunga Cucuk Lampah. Selanjutnya, para pembawa permintaan (sesaji dan Ubo Ampe). Anak gembel yang membawa Buju Abang, Buju Putih, Buju Ireng, Buju Kuning, Buju Robyang, Buju Kelung, Buju Sanggabuwana, Buju Tulak, Buju Panggang, Buju Kupat, Rakan Jajan Pasar, Rakan Buah Dekan Hijau, Pisang Raja Emas, Kinang, Alat Rias, berbagai cangkir dengan 14 macam minuman, dan Bobo Ronyang. Anak-anak rambut gembel tersebut tersebut dinaikan Andhong atau angkutan tradisional dan diikuti seni tradisional yang nantinya akan menyajikan pagelaran seninya hingga prosesi ritual pencukuran berakhir.

Jamasan
    Jamasan (memandikan) anak gembel dilaksanakan di Sendang Sedayu atau Sendang Maerokoco tepatnya di utara Darmasala Kompleks Arjuna. Untuk memasuki Sendang Sedayu, para anak Gembel berjalan dinaungi oleh Payung Robyong di bawah kain kafan panjang di sekitar Sendang Maerokoco sambil diiringi musik Gongso. Air untuk jamasan tersebut kemudian ditambah kembang tujuh rupa (Sapta Warna) dan air dari Tuk Bimalukar, Tuk Kencen, Tuk Goa Sumur, Tuk Sendang Buana (Kali Bana), Kali Pepek, dan Tuk Sibido (Tuk Pitu). Setelah prosesi Jamasan selesai anak-anak gembel kemudian dikawal di tempat pencukuran.
Sumber: Brosur DCF 5

     Dieng merupakan daerah dataran tinggi yang berada di Jawa Tengah. Dikelilingi dengan bukit-bukit serta Gunung Sindoro Sumbing. Mayoritas penduduknya bekerja dibidang pertanian. Buah tangan yang terkenal dari daerah ini ialah manisan carica berasal dari potongan-potongan buah carica itu sendiri. Rasanya manis dan sangat mengetarkan lidah. Makanan khasnya ialah mie angklo yang memiliki kuah kental yang hanya bisa ditemukan di tempat ini. Purwaceng termasuk kedalam jamu kuat yang asli dari kawasan ini berkhasiat sebagai penguat daya tahan tubuh.

     Acara ini diselengarakan sebagai pesta yang diselenggarakan masyarakat untuk mengadakan tradisi pemotongan rambut anak gimbal yang berada di daerah Dieng. Ini sudah merupakan tahun kelima ketika ritual ini dibuka untuk umum. Diadakan dari tanggal 30-31 Agustus 2014 dengan serangkaian acara.

    Dibuka oleh sambutan dari Bupati Dieng dan setelahnya acara ini dengan resmi telah dimulai. Selanjutnya akan diadakan serangkaian pertunjukkan tari-tarian di panggung yang berada di tengah-tengah lapangan kosong yang menjadi inti dari festival ini.

    Festival ini pun semakin semarak menjadi pesta rakyat ketika melihat seluruh warga desa berbondong-bondong untuk memeriahkan. Di pinggir lapangan terdapat berbagai kios-kios yang berbagai beraneka ragam barang dengan harga yang murah meriah. Tak mau kalah juga terdapat banyak penjual makanan.

    Selain sebagai pesta rakyat acara ini pun sudah dikomersilkan dengan menjual tiket dalam beberapa kelas. Aku dan teman-teman memutuskan untuk memilih kelas VIP dengan biaya 160.000 sudah termasuk kaos, jagung bakar, lampion, dan kain batik untuk ritual.

Camping Zone
     Untuk penginapannya kami menyewa tenda yang disediakan panitia. satu tendanya seharga 50.000 untuk semalam. Karena kami ada delapan orang jadi kami menyewa dua tenda. Kira-kira terdapat puluhan tenda-tenda yang disewakan panitia untuk para peserta DFC. Ada pula tanah lapang yang disediakan untuk para peserta yang ingin mendirikan tenda miliknya sendiri. Perkemahan dadakan ini juga dilengkapi dengan fasilitas empat kamar mandi darurat. Disekeliling tempat ini juga dibatasi agar orang yang bukan peserta tidak berhak untuk memasuki kawasan ini.



    Pada malam harinya diadakan bakar jagung massal. Disediakan sederet panggangan yang panjang. Jadi sangat terasa kedekatan pada peserta satu sama lain. Lalu setelahnya ada pesta lampion, para peserta bisa menerbangkan lampionnya masing-masing. Langit dihiasi beribu-ribu lampion yang selalu identik dengan pengharapan yang sedang diterbangkan. Aku terpukau sekali. Ditambah dengan kembang api yang tidak kalah indahnya. Meskipun suhu sudah berada di 10 derajat celcius dan kabut turun tetapi itu tidak menghalangi indahnya langit malam itu.

Jazz Atas Awan
    Malam indah ini ditutup dengan pagelaran jazz atas awan dari berbagai band jazz yang berada di daerah Jawa Tengah dan sekitarnya. Para peserta duduk dengan menggunakan berbagai macam alas karna tidak mungkin untuk duduk lesehan langsung di rumput. Suhu malam itu sudah semakin turun. Aku sangat salut kepada semua bintang tamu yang masih bisa bernyanyi dan bermain alat musik di keadaan yang seperti ini. Memang sesekali terdengar suara mengigil dari penyanyinya, tapi itu wajar.
Sudah sampai tengah malam aku dan teman-temanku kembali ke tenda karna sudah tidak kuat lagi menahan dingin. Aku tidak tau kapan tepatnya jazz atas awan itu selesai. Di dalam tenda aku masih mendengar sayup-sayup musiknya sampai aku terlelap.
    Pagi harinya aku terbangun sekitar pukul 6 pagi dan kabut masih enggan untuk pergi dari tempat ini. Embun-embun sudah menjadi kristal es diatas tenda. Wow! Suhu pada subuh tadi mencapai -5 derajat. Huaaaa yang diluar saja bisa mengkristal apa kabar dengan kami yang berada di dalam? Memang semalaman aku tidak nyaman tidur karna mengigil.



Mencari Kehangatan

Tabung Saja Membeku
     Siangnya diadakan acara puncak yaitu; ritual pemotongan rambut gimbal dari anak-anak yang berambut gimbal di daerah Dieng. Ternyata anak-anak ini tidak dilahirkan dengan gimbal tetapi ketika mereka masih balita terdapat keanehan dengan rambutnya yang gimbal (kusut) dengan sendirinya. Tak semua anak-anak di Dieng itu berambut gimbal dipercaya hanya anak-anak pilihan leluhurlah yang gimbal. Belum ada keterangan medis yang bisa menjelaskan ini.
    Anak-anak gimbal ini pun ditunggu sampai ia siap barulah dipotong rambutnya. Umumnya mereka memiliki permintaan-permintaan yang harus dikabulkan. Sangat lucu permintaan mereka, antara lain ada yang meminta telur sampai 1000, mau es milik tetangga, smart phone canggih, dan lain-lain. Permintaan bukan hanya beban orang tua tetapi sudah mencakup bebas semua masyarakat. Dan setelah rambut mereka dipotong, rambut mereka akan kembali seperti semula.

Ritual Pemotongan Rambut Gimbal
    Rambut-rambut ini akan dilarungkan di telaga warna dipercaya sebagai pengembalian kepada leluhur. Ini merupakan akhir dari segala rangkaian acara yang berlangsung dua hari.


Candi Arjuna ketika selesai acara Pemotongan Rambut Gimbal
    Lalu setelahnya kami semua berkemas untuk pulang dan sebelumnya kami sempatkan diri untuk mengabadikan potret diri sebagai bukti dalam membentuk kenangan nantinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar