Minggu, 06 Desember 2015

Danau Batur

    Berada di utara daerah Kintamani, Bali memiliki sebuah danau yang tergolong cukup luas di samping gunung Baturnya itu sendiri. Perjalanan yang akan dilalui sangat panjang dengan jalan yang berkelak-kelok dan bisa dibilang jalanan menuju kesini cukup sepi. Menempuh perjalanan hingga 1,5 jam dari pusat kota.
    Indahnya panorama danau dari atas sini, ditambah lagi dengan sejuknya udara Kintamani. Hijau kebiru-biruan nampak dari warna air Danau Batur, warna dari danau ini dapat berubah-ubah dipengaruhi oleh belerang yang berada di dasarnya. Untuk berada di kawasan ini dikenakan biaya sebesar Rp5.000/ orang, kita akan dimintai oleh petugas yang berada di pintu masuk kawasan ini.
    Gunung Batur sendiri kondisinya saat ini masih aktif dengan ketinggian 1717 mdpl. Terakhir meletus pada tahun 2005 tetapi kini sudah banyak yang mendaki gunung ini. Sayang, pada kesempatan kali ini saya belum diberikan kesempatan untuk bisa mendakinya.

    Menikmati panorama danau dari atas sini sambil ditemani sebuah kepala muda tak terasa lagi perjuangan yang telah dilalui untuk bisa sampai kesini. Akan banyak ditemui masyarakat-masyarakat yang berjualan kerajinan tangan dalam keranjang kepada para pelancong.
    Turun lagi ke bawah untuk melihat lagi dari dekat betapa memukaunya danau ini. Kiri dan kanan jalan yang dilalui dipenuhi dengan bebeatuan sisa sisa erupsi dari Gunung Batur.

Pandawa

    Pantai ini sudah termasuk ke dalam salah satu destinasi untuk rombongan para pelancong, akses ke tempat ini juga sangat mudah dengan jalanan beraspal yang besar.  Awal memasuki area ini kita akan melewati jalan yang memisahkan dua buah tebing, lalu selanjutnya di sebelah kanan jalan kita akan melihat pantai yang berada di bawah dan pada sisi sebelah kiri kita akan melihat patung-patung besar. 
   Ada 6 patung yang ada disini Dewi Kunti, Yudhistira, Bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa semuanya merupakan tokoh dalam Epos Mahabharata. Patung-patungnya diberikan kain-kain yang membuat semakin menawan. Patung-patung ini berada seperti di sebuah gua, berada sejajar disepanjang jalanan menurun menuju pantai. 
    Area parkir berada di bawah dekat dengan pantai. Dari atas sini pemandanganya sangat indah antara ujung laut dan langit berada seperti di luar jangkauan.
   Terdapat banyak tempat duduk yang disediakan bagi para pengunjung yang ingin bersantai menikmati suasana. Banyak pula ditemui kios-kios yang menjual makanan dan minuman bahkan beberapa aksesoris pantai. Disewakan pula beberapa permainan air.
    Sore itu ketika aku berada di sana, pantai ini lumayan sepi sudah tidak banyak orang yang bermain-main air di pantai. Aku pun menikmatinya hanya dengan berjalan sepanjang bibir pantai di atas pasir sambil sesekali kakiku dihampiri oleh debur ombak yang menggoda.
Dari pantai yang berada di bawah terlihat tulisan besar-besar di atas tebing "Pantai Pandawa". 


    Sayang, dari pantai ini kita tidak bisa menikmati matahari terbenam karna letaknya yang tidak berada di arah barat. Belum sampai benar-benar gelap aku memutuskan untuk langsung pulang karna jalan disini belum banyak diterangi oleh lampu-lampu jalan.

Jumat, 04 Desember 2015

Balangan

    Bali dengan pantai merupakan perpaduan yang tidak bisa dipisahkan, tidak baik melewatkan kesempatan untuk menikmati pantai ketika sedang berada di Bali. Begitu menurutku, seorang penikmat alam yang sedang diperbolehkan waktu untuk bisa berada lagi di pulau ini. Memang pada kunjunganku kali ini semua destinasi yang aku tuju ialah pantai.

    Pada hari pertama aku menginjakkan kaki, aku langsung diajak untuk menikmati salah satu dari sekian banyak pantai yang indah di Bali. Tidak dipunggut biaya masuk untuk berada di dalam kawasan ini. Temanku langsung saja mengajakku untuk melihatnya terlebih dahulu dari atas. Mataku langsung terpukau melihat gradasi warna di bibir pantai yang tersaji dibawah. Tak dapat lagi berkata apa-apa, panasnya matahari tidak lagi aku rasakan. Hanya kesejukkan dan ketenangan yang terasa dibawa oleh angin yang berhembus.
Memukau!


   Aku menelusuri kebawah dan menemukan sebuah gua yang berisi sesajen dan dari sana makin terasa memikatnya biru pantai. Sepi sekali, aku berpikir saat itu pasti masih belum banyak orang yang mengetahui keindahan pantai ini. Di saat sudah banyak pantai-pantai yang berisi rombongan para pelancong dari dalam dan luar negeri dan di sini bisa dilihat hanya ada beberapa kendaraan beroda empat dan roda dua yang terparkir. Ya, memang akses untuk mencapai kesini belum bisa ditempuh menggunakan kendaraan besar, seperti bis.

    Benar-benar sampai dibibir pantai yang aku temukan jernihnya air di pantai ini, kita bisa melihat langsung apa yang ada di dasar laut. Sebagain besar pengunjung yang berkeliaran ialah para pelancong mancannegara, sedang asik bermain-main air atau pun sekedar berjemur di pinggir.
Senangnya melihat alam yang masih bersih, bebas dari sampah dan segala bentuk perusakan lain dari manusia. Mari kita jaga bersama alam dimanapun kaki kita sedang bertumpu!

Tanah Lot

    Tempat ini sudah menjadi tempat yang wajib dimasukkan kedalam agenda para pelancong yang sedang berlibur di pulau dewata. Meskipun jarak yang harus ditempuh cukup jauh dari pusat kota tetapi memang pemandangan yang tersaji akan membayar semua jerih payah. Harga tiket masuknya Rp 10.000/ orang, kawasan ini cukup luas dengan pantai di ujungnya. Terdapat pura yang terletak di tengah pantai, bisa didatangi ketika air laut sedang surut.
    Sayangnya, aku berkunjung ketika air laut sedang pasang jadi hanya bisa memandangi pura tersebut dari bibir pantai. Dibawah pura terdapat goa yang didalamnya terdapat mata air yang mengeluarkan air tawar yang disucikan oleh masyarakat Bali. Dibuka untuk umum dan para pengujung dapat membasuh atau bisa juga meminum langsung air itu. Pada sisi lain terdapat gua yang didalamnya ada ular suci, sekujur tubuhnya belang-belang berwarna hitam putih. 
    Tanah Lot sebagai destinasi tempat untuk menikmati indahnya matahari terbenam, memang sisi pantai mengarah ke arah barat. Aku memang berada disana di sore hari ketikamata hari terbenam, beruntung mendapatkan kesempatan untuk menikmati indahnya lukisan Hyang Widhi Wasa.

    Aku menghabiskan waktu dengan berjalan-jalan mengelilingi kawasan ini, melihat dari atas bagaimana cepatnyanya deburan ombak yang beradu-adu menuju bibir pantai. Betapa kokohnya karang-karang yang dihantam dengan keras oleh ombak-ombak yang pasang. Nikmatnya alam, tidak bisa digantikan oleh apapun, dan itu diam-diam selalu berhasil membawa syukur yang tidak terkira padanya yang Maha Pencipta.

Minggu, 15 November 2015

Andong

    Gunung Andong memiliki ketinggian 1.726 mdpl yang terletak di desa Ngablak, Magelang. Waktu itu di akhir musim kemarau aku dan teman-teman memutuskan untuk mendaki. Gunung Andong menjadi pilihan kami. Saat itu banyak sekali terjadi kebakaran di gunung-gunung, karna panasnya musim kemarau. Gunung Andong sendiri juga terbakar beberapa bulan yang lalu, tapi sekarang ini aman.
    Ketika kami ingin berangkat, hujan deras membasahi Semarang. Entah ini pertanda apa yang pasti kami tidak akan mengurungkan niat untuk tetap mendaki karna persiapan yang kami siapkan sudah maksimal. Pada jam 8 malam akhirnya hujan berhenti, kami langsung saja berangkat, 6 orang dengan 3 motor.
    Sesampainya di desa Ngablak sekitar pukul 10 kami mengarahkan ke jalur pendakian umum (yang biasa dilalui) tapi ternyata jalur itu ditutup akibat dari kebakaran, kata warga setempat jalur tersebut sering terjadi longsor runtuhan batu-batu dari atas. Maka dari itu kami diarahkan ke jalur pendakian lain yang letaknya tidak jauh dari situ, kira-kira 1 km. Aku lupa apa nama basecamp-nya tapi yang jelas sesampainya disitu, kami disambut hangat oleh para warga. Dikenakan biaya Rp.7.000 per orang sudah termasuk biaya parkir motor. Dari parkiran sepanjang jalan banyak rumah-rumah warga yang terbuka. Ini memang sudah disiapkan untuk jadi tempat beristirahat dari para pendaki yang baru ingin atau sudah selesai mendaki. Warga disana sangat ramah, di setiap rumahnya juga disediakan teh hangat. Kami disambut baik oleh pemilik rumah yang kami tempati. Nenek dan Kakek yang sangat baik. Kami mengisi amunisi terlebih dahulu sebelum memulai, ternyata disini disediakan pula penyewaan semua kebutuhan mendaki mulai dari tenda, kompor, matras, dan lain-lain. Aku tidak mengetahui berapa biayanya karna perlengkapan kami sudah lengkap.
    Kami mengawali pendakian dari jam setengah 12 kata Nenek Gunung Andong bisa dicapai sekitar 2 sampai 2,5 jam perjalanan. Udara dingin tidak menyurutkan langkah kami, justru itu jadi pemacu kami untuk terus melangkah. Jalur awal sudah mendaki, ditengah-tengah hutan kami tetap berjalan beriringan. Ditemani dengan angin malam, serta indahnya kelap-kelip lampu di bawah dan bintang di atas. Sesekali kami berhenti untuk menikmati suasana sambil mengatur nafas yang sudah tidak beraturan dan juga untuk meminum setengguk air menumpas dahaga. Di jalur ini terdapat 2 pos yang ditandai dengan bangku panjang, berbekal peta yang diberikan warga kami meneruskan perjalanan. Petunjuk arah masih terlampau sedikit, kami sempat bingung untuk menentukkan arah. Tapi benar 2,5 jam bisa kami lalui hingga sampai atas.
    Kami memilih untuk membangun tenda tidak pada puncak, karna sudah banyak orang-orang yang mendirikan tenda disana. Ditengah dingin dan kencangnya angin kami mendirikan tenda. Ketika sedang sibuk sibuknya dari tetangga samping tenda kami ada yang memberikan dua gelas teh hangat. Ah senangnya, ini merupakan salah satu kerinduan akan keramahan para pendaki yang aku rasakan. Hilang semua prasangka buruk terhadap orang yang biasa menghantui kita terutama kepada orang yang tidak dikenal. Di alam siapa pun itu bisa menyelaraskan sifatnya setenang hijaunya hutan, selembut desiran angin, dan sesegar mata air. Siapa pun itu orangnya, semua terasa sama.
Selesai tenda berdiri, kami langsung masuk untuk merebahkan badan yang sudah tidak karuan lagi lelahnya memejamkan mata berharap bisa tertidur sampai nanti matahari memunculkan sinarnya. Kami semua masuk ke dalam tenda dengan sleeping bag masing-masing, berhimpitan untuk tetap saling menghangatkan.


    Ketika pagi menyingsing, semburat warna kuning keemasan muncul dari arah timur. Memunculkan kemegahan yang membuat takjub. Kami sama-sama berdiam, merekam baik-baik dalam ingatan keindahan alam yang terpampang nyata di depan mata. 



    Semakin naik benda bulat besar itu, semakin nyata cahayanya. Ketika gelap menghilang baru kami lihat, awan-awan yang ada dibawah kami, petak-petak sawah, kotak-kotak rumah.

    Kami menyalakan kompor untuk memasak air panas agar dapat membuat kopi dan menyeduh mie yang sudah kami bawa.
    Sudah puas dengan semua, kami langsung mengemasi segalanya. Merobohkan lagi tendanya, memasukan perlengkapan ke dalam tas masing-masing, dan tidak lupa membawa turun kembali sampah yang kami punya. Alam sudah berbaik hati membiarkan kami menikmati keindahannya, lantas kami tahu diri untuk setidaknya membalas dengan tidak merusak.
    Jarum jam masih menunjukkan angka 8 ketika kami sudah berada di tengah perjalanan turun, tetapi angin panas sudah berkali-kali menampar, belum lagi debu jalanan yang menemani.
    Tetapi kami tidak boleh lupa dengan tersenyum, bersama-sama berjalan, bersama-sama berhenti bersama-sama berlari, bersama-sama tertawa.
    Bagiku, mendaki bukan hanya perkara mencapai puncak karna sesungguhnya perjalanan pulang justru jadi sebuah tantangan yang lebih besar. Dimana kita sudah kelelahan, kaki sudah tidak bisa berteman lagi, jalur yang bisa jadi lebih terjal ketika melewatinya dengan menurun. Melawan ego agar bisa tetap bersama dalam tim meski sudah ingin terburu-buru sampai kebawah. 

    Dan kali ini, aku mendapat teman seperjalanan yang sejalan. Kami menikmati setiap langkahnya dengan syukur, sambil sesekali melempar lelucon untuk membangkitkan lagi semangat dalam diri. Banyak-banyak tersenyum, memaknai semua dengan indah.

Selasa, 27 Oktober 2015

Lawe Benowo

    Berada di lereng gunung Ungaran dapat ditemui banyak curug, aku dan temanku menelusuri dua diantaranya; Curug Lawe dan Cueug Benowo. Keduanya berada di satu jalur yang sama. Harga tiket masuknya sehara Rp. 4.000 satu orang, sangat ekonomis untuk harga masuk sebuah objek wisata. Di parkiran tersedia banyak sekali warung-warung, kamar mandi dan juga musholah. Kita akan berjalan menanjak sebelum akhirnya memasuki jalur sesungguhnya menuju ke curug.

 
    Kita akan menelusuri jalan setapak dengan aliran sungai ditengahnya. Akan ditemui juga sering kali di sisi jalan ini ialah jurang ataupun pepohonanyang rindang. Semakin jauh memasuki kawasan ini semakin terasa suasana hutan yang rindang dan tidak tertembus sinar matahari.

    Jembatan merah ini menjadi penghubung tebing yang satu dengan tebing yang lain. Jembatan ini dikenal sebagai jembatan cinta, kalau pendapatku mungkin karna dari jembatan ini kita akan melihat dengan bebasnya ke pepohonan rindang yang berada di bawah. Sangat indah, ditambah dengan kicauan burung yang berada di atas batang-batang pohon. Belum lagi suara gesekan dahan-dahan pohon yang berirama seakan sedang menyanyikan sebuah lagu.


    Sejauh mata memandang akan selalu ada aliran sungai yang mengalir dan di sisi lain jalan akan banyak ditemui pemandangan seperti yang ada pada gambar. Timbunan bebatuan dengan air mengalir dari celah-celahnya. Tempat ini memang sudah benar-benar dimanfaatkan semaksimal mungkin sebagai objek wisata.

    Jangan takut tersasar di dalam kawasan ini, karna sudah banyak ditemui petunjuk-petunjuk arah. Berbagai peringatan-peringatan pun diberikan sebagai pengingat untuk para wisatawan untuk tetap menjaga kelestarian dan kebersihan dari tempat ini.
    Aku sarankan ketika kalian ingin ke tempat ini, sediakan banyak waktu untuk bisa melihat kedua curug yang ada disini. Ohya lebih baik mulai terlebih dahulu dari Curug Benowo karna dari sisi sebelah kanan Curug Benowo akan kita temui jalan pintas menuju Curug Lawe. Treknya sendiri lebih banyak menurun, tetapi ketika kita melakukannya dari arah sebaliknya yang banyak ditemui ialah jalur menanjak.


    Curug Benowo sangat indah membelah tebing dengan aliran air segar yang sangat menyejukkan. Bersantai-santai dengan meminum secangkir kopi hangat menjadi pilihanku ketika berada di tempat ini, seharga Rp. 4000. Sangat asri, kealamian yang masih sangat terjaga. Suara deburan air yang berlomba-lomba meluncur kebawah tanpa ada halangan. Kemarau tidak mengurangi debit air yang ada, hanya saja pelangi yang biasa muncul di atas aliran airnya kali ini tidak dapat terlihat.



    Sudah puas dari Curug Benowo kami melanjutkan perjalanan ke Curug Lawe kira-kira menempuh 500 meter. Menaiki bebatuan yang terjal terkadang harus dilalui dengan memanjat, berjalan seakan akan sedang membelah hutan belantara. Harus diakui memang jalurnya cukup sulit, ditambah dengan tanah kering yang menciptakan banyak debu ketika angin berhembus.
   Ada cerita unik ketika sedang berjalan dari Curug Benowo ke Curug Lawe kami menemui kesulitan,terutama dengan temanku yang susah melewati medan menurun ini. Dimulai berjalan perlahan-lahan sampai duduk dan diseret (ngesot). Ketika sedang susahnya ngesot tiba-tiba datang dua bapak-bapak dengan setelah baju batik resmi lengkap dengan sepatu pantofelnya. Menyadari temanku masih lama untuk melaluinya, aku persilakan kedua bapak ini berjalan mendahului, tetapi salah seorang dari bapak itu memopoh temanku sampai kebawah. Beliau tidak takut padahal jalan itu hanya cukup untuk satu orang, dan sisi lainnya itu sudah berhadapan langsung dengan jurang. Sampai dibawah kami berterima kasih kepada bapak-bapak ini. Beliau sendiri memberikan kesediaannya untuk membantu kami sampai di ujung jalan ini. Tapi karna temanku ini sudah berpikir yang tidak-tidak akhirnya kami menolaknya secara halus. Mereka melanjutkan perjalanannya lagi, dan berhenti di sisi bawah kami sambil terus melihat ke arah kami. Temanku ini ketakutan dengan berbagai spekulasi yang tidak-tidak. Dia membuatku jadi ikutan takut.
"Punya minum nda Mba?" Teriak salah seorang Bapak.
"Ada Pak" balas kami dari atas.
"Yasudah, istirahat dulu saja. Nanti jalan lagi kalo udah nda capek. Bapak duluan ya." Sembari meneruskan perjalanan. Temanku masih saja dengan khayalannya tetapi aku tidak yakin sepenuhnya kalau bapak-bapak yang tadi itu berniat jahat.
    Sampai di tujuan hal pertama yang aku cari ialah kedua bapak-bapak tadi. Tapi sama sekali tidak ada tanda-tanda kehadiran mereka. Sampai kami pulang pun kami tidak menemuinya. Tanpa banyak lagi berpikir yang tidak-tidak. Aku dan temanku langsung sepakat menyebut mereka; malaikat.

    Pada akhir pekan ini, tidak terlampau banyak orang yang datang kesini, aku memilih mengambil latar bebatuan yang semuanya dialiri air, ditambang dengan lumut yang sudah menghiasi sebagian dari batu-batunya. Curug Lawe lebih terpojok dibanding dengan Benowo. Udara lembab mendominasi suasana tanpa mengurangi indahnya curug ini. Lebih rendah dari Benowo tapi dsini banyak disediakan tempat untuk bermain air.
    Ini salah satu kolam yang disediakan untuk bermain air, cukup luas dan lumayan dalam. Airnya pun dialirkan dari atas dan turun lagi kebawah. Airnya sangat jernih sampai dari atas pun kita dapat melihat dasar dari kolam ini.

    Lumut disini banyak yang berwarna merah sehingga air yang mengalir menjadi terlihat juga berwarna merah. Ini yang merupakan salah satu yang dijadikan daya tarik dari tempat ini.


Kumpulan botol-botol bekas

Pohon Kenangan
    Perjalanan diakhiri dengan melewati jalur Curug Lawe, lebih banyak lagi bisa ditemukan warung-warung penjual makanan dan minuman. Tetapi sedang banyak yang tidak buka, padahal ini di akhir pekan. Menurut informasi dari petugas disini memang pengunjung ditempat ini tidak bisa diprediksi sepi-ramainya bahkan dihari besar sekalipun. Jarak tempuh yang cukup jauh menuju curug ini yang menjadi persoalan.
   Sangat menyenangkan ketika melihat kreatifitas yang dituangkan dilihat dari sisi-sisi jalan, terdapat; tembok botol-botol bekas, pohon kenangan tempat mengantungkan alas kaki yang rusak yang dipakai pengunjung. Lebih hebatnya lagi di tempat ini banyak ditemui kantong-kantong sampah sehingga para wisatawan tidak semena-mena membuang sampahnya sembarangan.
Mari kujungi dan ciptakan sendiri ceritamu!

Kamis, 15 Oktober 2015

Goa Gajah

    Goa Gajah berada di desa Bedulu, Gianyar Bali. Jangan dikira karna namanya Goa Gajah maka yang ada di dalamnya ialah binatang gajah. Padahal ditempat ini kita sama sekali tidak akan menemukannya sama sekali. Goa ini dinamakan Gajah karna terdapat sungai yang mempunyai mata air dan sejak jaman kerajaan sudah dikenal dengan Sungai Gajah.

    Tempat ini merupakan tempat ibadah masyarakat Bali, terdapat Pura Goa yang didalamnya terdapat patung dari dewa Ganesha yang sampai sekarang masih dipergunakan sebagai tempat beribadah.


    Ini merupakan sungai yang mengalir di kawasan ini langsung dari mata airnya. Air ini mengalir ke kolam pemandian yang disalurkan melalui 6 pancuran, 3 dibagian selatan dan 3 lagi di bagian utara. Kita bisa menikmatinya bisa langsung di sumber mata airnya untuk sekedar cuci muka ataupun bisa mandi ke kolam pemandian. Harga tiket masuk kawasan ini ialah Rp. 15.000. Pepohonan yang rindang membuat suasana semakin nyaman. Ini membuat semua rasa nyaman saat berkeliling di tempat ini. Di arah pintu keluar akan banyak bisa ditemui kios-kios yang menjual berbagai kerajinan asli dari Bali dengan harga yang cukup terjangkau.

Pura Luhur Uluwatu

    Berada di desa Pecatu, Badung Bali. Cukup jauh tempat ini dijangkau dari pusat kota, tetapi usaha yang dikeluarkan akan terbayar dengan pemandangan yang disajikan dari tempat ini. Dengan membayar tiket masuk seharga  Rp 15.000 kita sudah masuk ke dalam kawasan ini.


    Deretan tebing yang tinggi dengan lautan luas yang terpampang megah menjadikannya begitu sangat indah. Belum lagi deburan ombak yang menghambat tebing-tebing ini dengan hebatnya, menjadikan suasana semakin tak kuasa menahan kagum kepada Sang Pencipta.

    Ya, selama di kawasan ini kita sebagai pengunjung akan mengenakan kain ungu untuk menghormati keberadaan tempat ibadah yang ada di kawasan ini. Jangan heran ketika melihat begitu banyak kera yang hilir-mudik jalan berdampingan dengan kita. Tidak perlu takut karna semua kera yang ada disini sudah terbiasa dengan manusia. Ketika kita tidak menganggunya maka bisa dipastikan mereka juga tidak akan menganggu.

    Sangat disarankan untuk berada di tempat ini ketika sore hari karna akan tampak jelas ketika mentari kembari keperaduannya di ujung langit. Akan tampak merona warna yang mengesankan yang akan membuat terpana.