Minggu, 15 November 2015

Andong

    Gunung Andong memiliki ketinggian 1.726 mdpl yang terletak di desa Ngablak, Magelang. Waktu itu di akhir musim kemarau aku dan teman-teman memutuskan untuk mendaki. Gunung Andong menjadi pilihan kami. Saat itu banyak sekali terjadi kebakaran di gunung-gunung, karna panasnya musim kemarau. Gunung Andong sendiri juga terbakar beberapa bulan yang lalu, tapi sekarang ini aman.
    Ketika kami ingin berangkat, hujan deras membasahi Semarang. Entah ini pertanda apa yang pasti kami tidak akan mengurungkan niat untuk tetap mendaki karna persiapan yang kami siapkan sudah maksimal. Pada jam 8 malam akhirnya hujan berhenti, kami langsung saja berangkat, 6 orang dengan 3 motor.
    Sesampainya di desa Ngablak sekitar pukul 10 kami mengarahkan ke jalur pendakian umum (yang biasa dilalui) tapi ternyata jalur itu ditutup akibat dari kebakaran, kata warga setempat jalur tersebut sering terjadi longsor runtuhan batu-batu dari atas. Maka dari itu kami diarahkan ke jalur pendakian lain yang letaknya tidak jauh dari situ, kira-kira 1 km. Aku lupa apa nama basecamp-nya tapi yang jelas sesampainya disitu, kami disambut hangat oleh para warga. Dikenakan biaya Rp.7.000 per orang sudah termasuk biaya parkir motor. Dari parkiran sepanjang jalan banyak rumah-rumah warga yang terbuka. Ini memang sudah disiapkan untuk jadi tempat beristirahat dari para pendaki yang baru ingin atau sudah selesai mendaki. Warga disana sangat ramah, di setiap rumahnya juga disediakan teh hangat. Kami disambut baik oleh pemilik rumah yang kami tempati. Nenek dan Kakek yang sangat baik. Kami mengisi amunisi terlebih dahulu sebelum memulai, ternyata disini disediakan pula penyewaan semua kebutuhan mendaki mulai dari tenda, kompor, matras, dan lain-lain. Aku tidak mengetahui berapa biayanya karna perlengkapan kami sudah lengkap.
    Kami mengawali pendakian dari jam setengah 12 kata Nenek Gunung Andong bisa dicapai sekitar 2 sampai 2,5 jam perjalanan. Udara dingin tidak menyurutkan langkah kami, justru itu jadi pemacu kami untuk terus melangkah. Jalur awal sudah mendaki, ditengah-tengah hutan kami tetap berjalan beriringan. Ditemani dengan angin malam, serta indahnya kelap-kelip lampu di bawah dan bintang di atas. Sesekali kami berhenti untuk menikmati suasana sambil mengatur nafas yang sudah tidak beraturan dan juga untuk meminum setengguk air menumpas dahaga. Di jalur ini terdapat 2 pos yang ditandai dengan bangku panjang, berbekal peta yang diberikan warga kami meneruskan perjalanan. Petunjuk arah masih terlampau sedikit, kami sempat bingung untuk menentukkan arah. Tapi benar 2,5 jam bisa kami lalui hingga sampai atas.
    Kami memilih untuk membangun tenda tidak pada puncak, karna sudah banyak orang-orang yang mendirikan tenda disana. Ditengah dingin dan kencangnya angin kami mendirikan tenda. Ketika sedang sibuk sibuknya dari tetangga samping tenda kami ada yang memberikan dua gelas teh hangat. Ah senangnya, ini merupakan salah satu kerinduan akan keramahan para pendaki yang aku rasakan. Hilang semua prasangka buruk terhadap orang yang biasa menghantui kita terutama kepada orang yang tidak dikenal. Di alam siapa pun itu bisa menyelaraskan sifatnya setenang hijaunya hutan, selembut desiran angin, dan sesegar mata air. Siapa pun itu orangnya, semua terasa sama.
Selesai tenda berdiri, kami langsung masuk untuk merebahkan badan yang sudah tidak karuan lagi lelahnya memejamkan mata berharap bisa tertidur sampai nanti matahari memunculkan sinarnya. Kami semua masuk ke dalam tenda dengan sleeping bag masing-masing, berhimpitan untuk tetap saling menghangatkan.


    Ketika pagi menyingsing, semburat warna kuning keemasan muncul dari arah timur. Memunculkan kemegahan yang membuat takjub. Kami sama-sama berdiam, merekam baik-baik dalam ingatan keindahan alam yang terpampang nyata di depan mata. 



    Semakin naik benda bulat besar itu, semakin nyata cahayanya. Ketika gelap menghilang baru kami lihat, awan-awan yang ada dibawah kami, petak-petak sawah, kotak-kotak rumah.

    Kami menyalakan kompor untuk memasak air panas agar dapat membuat kopi dan menyeduh mie yang sudah kami bawa.
    Sudah puas dengan semua, kami langsung mengemasi segalanya. Merobohkan lagi tendanya, memasukan perlengkapan ke dalam tas masing-masing, dan tidak lupa membawa turun kembali sampah yang kami punya. Alam sudah berbaik hati membiarkan kami menikmati keindahannya, lantas kami tahu diri untuk setidaknya membalas dengan tidak merusak.
    Jarum jam masih menunjukkan angka 8 ketika kami sudah berada di tengah perjalanan turun, tetapi angin panas sudah berkali-kali menampar, belum lagi debu jalanan yang menemani.
    Tetapi kami tidak boleh lupa dengan tersenyum, bersama-sama berjalan, bersama-sama berhenti bersama-sama berlari, bersama-sama tertawa.
    Bagiku, mendaki bukan hanya perkara mencapai puncak karna sesungguhnya perjalanan pulang justru jadi sebuah tantangan yang lebih besar. Dimana kita sudah kelelahan, kaki sudah tidak bisa berteman lagi, jalur yang bisa jadi lebih terjal ketika melewatinya dengan menurun. Melawan ego agar bisa tetap bersama dalam tim meski sudah ingin terburu-buru sampai kebawah. 

    Dan kali ini, aku mendapat teman seperjalanan yang sejalan. Kami menikmati setiap langkahnya dengan syukur, sambil sesekali melempar lelucon untuk membangkitkan lagi semangat dalam diri. Banyak-banyak tersenyum, memaknai semua dengan indah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar